Verifikasi Substantif AHU Online: Tantangan Baru bagi In-House Counsel dan Notaris
![]() |
| Vice President II Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA), Widia Hutagaol dan Kabid Organisasi PP Ikatan Notaris Indonesia (INI) 2019-2022, Anita rohmah, S.H.,M.Kn |
Satu bulan berlalu sejak Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum (Ditjen AHU Kemenkum) mengumumkan mulai diterapkannya verifikasi substantif, dalam memastikan keabsahan data badan hukum Perseroan Terbatas yang tercatat melalui Perseroan Terbatas yang tercatat dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH).
“Di ICCA kemarin itu sempat ramai soal ini, banyak yang terkendala. Kami berharap dari AHU diberikan sosialisasi walaupun ini setelah (pembaruannya) dikeluarkan,” ungkap Vice President II Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA), Widia Hutagaol, ketika dihubungi melalui sambungan telepon dengan Hukumonline, Rabu (26/11).
Mulai efektif per 27 Oktober lalu, verifikasi substantif diberlakukan untuk perubahan data direksi dan komisaris, perubahan data peralihan saham, serta perubahan data pergantian nama pemegang saham. Melalui sosial media resminya, Ditjen AHU menyampaikan upaya ini dilakukan demi menjaga transparansi dan akurasi data badan hukum di Indonesia.
Sehubung dengan itu, Widia menyadari masih terdapat in-house counsel atau penasihat hukum internal perusahaan yang belum memperoleh informasi menyeluruh mengenai pembaharuan AHU Online. Akibatnya, sebagian dari mereka mengalami kendala dalam pemenuhan tugasnya di bulan pertama penerapan pembaruan ini.
“Nah, kalau saya tarik rata-rata kendala yang dialami anggota (ICCA) itu ada dua. Kalau terkait email, karena dia nanti harus klik link, link itu hanya bisa diakses melalui sambungan VPN (kantor). Ada beberapa perusahaan yang terkendala karena BoD, BoC atau pemegang sahamnya itu di luar negeri. Tidak di dalam sistem,” terang Widia.
Kedua, masalah nomor telepon yang juga menjadi tantangan tersendiri. Mengingat tidak semua perusahaan memiliki nomor telepon. “Let’s say BoD-nya lima, BoC ada tiga, pemegang saham dua, berarti kan sepuluh. Itu harus punya sepuluh nomor telepon (landline) yang berbeda, gak banyak perusahaan punya sepuluh nomor gitu,” kata dia.
Sebab, sekalipun perusahaan mencoba untuk mendaftarkan dengan menggunakan nomor ponsel pribadi milik jajaran internal, hal itu tetap berpotensi menimbulkan kendala karena menyangkut privasi masing-masing individu.
“Kalau teman-teman di ICCA yang saya lihat (di chat) baru-baru juga gitu, (merasa) antriannya jadi panjang. Kalau dulu, itu masih bisa sehari-dua hari langsung keluar. Ini bisa sampai dua minggu. Ini berdasarkan informasi yang kami dapat ya,” ujarnya.
Bahkan, ada anggota ICCA yang menyampaikan bahwa untuk kebutuhan penting yang memerlukan respons cepat, mereka memilih mendatangi Ditjen AHU bersama notaris dan tim legal secara langsung. Hal ini dilakukan karena komunikasi melalui telepon dinilai kurang optimal di tengah-tengah adanya pembaruan ini.
Meski demikian, Widia menyampaikan bahwa ICCA tetap mendukung upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk kehati-hatian, termasuk verifikasi kontak yang dimasukkan, yang sejalan dengan semangat peningkatan kualitas layanan.
Namun, ia berharap pemerintah dapat melibatkan para praktisi serta melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum pembaruan mulai diterapkan, khususnya kepada in-house counsel dan notaris sebagai pihak yang paling terdampak dengan perubahan ini.
“Karena itu dua (in-house counsel dan notaris) yang tahu persis prakteknya. Misalnya kalau kita tahu sebelumnya, kita bisa kasih input. Contoh telepon (landline) gitu kan, di luar negeri itu hampir semua sudah nggak ada yang pakai, semua call pakai Teams atau Zoom,” ucapnya.
Meski pembaruan telah dilakukan, Widia berharap Ditjen AHU dapat segera menghadirkan sosialisasi dan mempertimbangkan pemberian masa tenggang, sehingga penyesuaian atas kebijakan baru ini dapat berjalan lebih lancar, di sisi lain proses transaksi penting di korporasi juga bisa berjalan lancar.
Ia juga mendorong para in-house counsel untuk terus memperbarui informasi dengan mengikuti media sosial dan platform resmi Ditjen AHU, ICCA, serta Hukumonline, agar perkembangan terbaru terkait dapat dipantau secara optimal.
“Pemeriksaan substansi itu yang diperiksa kan materilnya jadinya, bukan lagi aktanya. Jadi awalnya konfirmasi itu dilakukan kepada pemegang saham, direksi, komisaris, tapi belakangan kalau perubahan saham berarti kepada pemegang saham diverifikasi secara manual dengan dikirim email yang terdaftar di sistem,” kata Kabid Organisasi PP Ikatan Notaris Indonesia (INI) 2019-2022, Taufik, dalam kesempatan terpisah.
Akan tetapi, sambungnya, perlu dicermati potensi kendala teknis yang dapat mempengaruhi kelancaran proses, seperti batas waktu konfirmasi email selama 7 hari yang dapat berujung pada penolakan apabila terlewati. Situasi ini bisa semakin kompleks apabila pemegang saham berada di luar negeri, terjadi perubahan alamat email, atau terdapat kekeliruan dalam penginputan data, sehingga berpotensi menimbulkan tantangan baru.
Pembaruan pada AHU Online saat ini mensyaratkan adanya klarifikasi awal melalui konfirmasi email maupun telepon yang tercantum dalam sistem, yang dilakukan oleh verifikator AHU Online. Pemeriksaan substantif dimaknai sebagai proses klarifikasi untuk memastikan bahwa setiap transaksi perubahan Perseroan sesuai dengan jenis transaksi yang diajukan serta didukung oleh dokumen yang diunggah.
Notaris itu menilai bahwa pembaruan ini kemungkinan dilatarbelakangi oleh kehati-hatian Ditjen AHU terhadap potensi permasalahan, seperti peralihan saham tanpa sepengetahuan pemegang saham lain atau data yang diinput oleh notaris tidak sepenuhnya selaras dengan salinan akta yang diunggah.
Melalui verifikasi substantif, AHU Online tidak lagi menilai keabsahan akta, melainkan berfokus pada kesesuaian jenis transaksi, kebenaran data yang diinput berdasarkan salinan akta, serta konsistensi dengan riwayat transaksi agar data tetap sinkron. Tim verifikator kemudian melakukan konfirmasi atas data tersebut melalui email dan telepon yang tercantum pada sistem.
“Namun, hal ini terlalu materil dan membuat waktu lama. Karena paling cepat katanya 14 hari, tapi ada beberapa teman-teman notaris yang sampaikan sudah 3-4 minggu belum ada notifikasi. Proses pelayanan itu jadi lama ya, selama ini kan dalam satu hari bisa selesai. Hal-hal itu yang jadi kendala sebenarnya, meski mungkin dari substansinya itu bagus ya supaya berhati-hati,” imbuhnya.
Taufik berharap Ditjen AHU Kemenkum dapat segera menerbitkan Permenkum yang menjadi dasar hukum bagi pembaruan ini, di mana pelaksanaannya tetap selaras dengan peraturan perundang-undangan berlaku termasuk UU Perseroan Terbatas.
Dia juga menekankan pentingnya menjaga unsur kemudahan dan efisiensi proses, sebagaimana semangat Ease of Doing Business (EoDB) yang dahulu marak diupayakan untuk mendukung kelancaran kegiatan pelaku usaha, termasuk melalui layanan AHU Online.
