Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Dapatkah Notaris Memberikan Salinan Akta Selain Dalam Bahasa Indonesia?

ANITA ROHMAH SH MKN

Berkaca dari kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan pasal 31 Undang-Undang tentang Bahasa, dan Lambang Negara, maka dalam setiap kontrak yang melibatkan warga negara Indonesia, pemerintahan republik Indonesia, wajib menggunakan bahasa Indonesia atau dibuat side by side dengan bahasa asing lainnya. 

Bagaimana jika para penghadap menginginkan Salinan  Akta, Kutipan Akta dalam bahasa yang lain, juga dalam bahasa dan huruf yang lain?

Maka harus dilakukan penterjemahan dari Salinan Akta, Kutipan Akta yang berbahasa Indonesia tersebut. Dan penterjemahan tersebut dilakukan oleh penterjemah tersumpah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (4) UUJN – P, yaitu :  “Penerjemah resmi dalam ketentuan ini antara lain penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan terdaftar atau menggunakan staf pada kedutaan besar negara asing jika tidak ada penerjemah tersumpah”.

Meskipun demikian tetap dibuka kemungkinan akta (Minuta, Salinan, Kutipan dan Grosse Akta) dapat dibuat dalam bahasan lain (selain bahasa Indonesia) jika hal tersebut dikehendaki oleh para penghadap (Pasal 43 ayat (3) UUJN – P). Hal ini berlaku ketentuan khusus untuk Akta Notaris. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN – P ada kontradiksi jika dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (6) UUJN – P, yaitu jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi akta, maka yang dipergunakan adalah akta Notaris yang berbahasa Indonesia. Kalau pada akhirnya jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi akta yang akan dijadikan acuan adalah akta yang berbahasa Indonesia, lebih tepat sejak awal akta Notaris (Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta) dibuat menggunakan bahasa Indonesia saja.

Bagaimana pandangan para pakar hukum terhadap hal tersebut?

  1. Menurut Huala Adolf, Guru BesarFakultas Hukum Universitas Padjajaran menyoroti kontra dari pasal 31 UU bahasa tersebut. Menurut beliau terdapat prinsip-prinsip hukum yang tertabrak:
  2. Prinsip sahnya perjanjian

Pandangan umum mengenai syarat sah perjanjian tidak bergantung pada syarat bahasa.  Sahnya perjanjian selama ini mengacu pada ketentuan pasal 1320 KUH Perdata yaitu (1) adanya kesepakatan para pihak, (2) syarat kecakapan para pihak, (3) objek (hal) tertentu dan (4) klausa atau objek perjanjian yang halal

  1. Hukum perdagangan atau hukum perjanjian mengakui prinsip kebebasan berkontrak. Termasuk di dalamnya kebebasan para pihak memilih hukum yang berlaku untuk perjanjian, memilih forum yang menyelesaikan sengketa atau memilih bahasa yang akan digunakan dalam perjanjian. Mencakup apakah bahasa yang akan digunakan dan apakah kesepakatan bahasa diwujudkab secara bertulis atau lisan.
  2. Dalam transaksi dagang atau investasi, bahasa Inggris sudah dipandang sebagai bahasa pergaulan atau pengantar dunia (lingua franca)Untuk menghindari atau meredam keresahan karena adanya kewajiban penggunaan bahasa indonesia, peran pengadilan sangat penting. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal preseden.Mahkamah Agung dapat membuat petunjuk teknis kepada jajaran pengadilan dibawahnya mengenai tidak dikenalnya lembaga preseden ini. MA dapat pula membuat petunjuk teknis mengenai syarat bahasa ini sebagai suatu syarat wajib yang soft-law. Dalam UU Bahasa tidak disebutkan sanksi apa yang akan dijatuhkan jika syarat bahasa ini tidak dilaksanakan.Soft-law dalam arti kewajiban yang sifatnya tidak memaksa terdapat dalam norma hukum lainnya.
Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S,H.M.H., Hakim Agung Mahkamah Agung RI berpandangan, kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia atau perorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan merupakan persyaratan formil suatu perjanjian, yang apabila dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak tidak saja sebagai persyaratan obyektif suatu sebab yang halal

Mengacu kepada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) tersebut di atas, syarat sahnya perjanjian adalah apabila memenuhi  syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif  meliputi kesepakatan para pihak dalam perjanjian dan  kecakapan para pihak dalam perjanjian. Sedangkan syarat obyektif menyangkut suatu hal tertentu dan sebab yang halal.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.  Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Sehingga para pihak yang melakukan perjanjian tersebut kembali ke dalam posisi semula seperti sebelum lahirnya perjanjian dimaksud (null and void).

Suatu perjanjian batal demi hukum bisa juga karena tidak memenuhi syarat formil, yaitu syarat-syarat mengenai cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan.

Ahli hukum memberikan pandangan bahwa syarat pemenuhan aspek formil suatu perjanjian dimaknai sebagai  suatu perjanjian  yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga diisyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum. Formalitas tertentu itu , misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik menurut undang-undang.

Beberapa contoh perjanjian yang harus memenuhi persyaratan formil  adalah:

1)  Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata.

2)  Pendirian perseroan terbatas: pasal 7 butir 1 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.

3)  Jaminan Fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia.

4)  Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi: Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

5)  Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat(1) UU N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda Benda yang berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat(1) UU tersebut.

Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk  perjanjian formil  merupakan pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjajanjian yang berlaku secara umum. Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme. (Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010).

Apakah berarti akan ada potensi untuk menggunakan pasal 31 untuk menghindari pemenuhan kewajiban dalam kontrak/perjanjian berbahasa asing?

Menurut pandangan Hakim Agung MA RI,  Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S,H.M.H. tidaklah demikian, sebab dalam beberapa keadaan, perjanjian yang menggunakan bahasa Inggris adalah perjanjian yang sudah disiapkan secara sepihak oleh kreditur.  Bahkan dalam kedaan demikian, pihak debitur hanya dihadapkan dengan pilihan menyetujui atau tidak menyetujui isi perjanjian atau kontrak yang disodorkan kepadanya.

Praktek seperti ini sering terjadi dalam kontrak atara pihak pelaku usaha jasa keuangan atau kontrak antara pelaku usaha dan konsumen. Secara yuridis formal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur bahwa setiap kontrak haruslah dibuat dalam bentuk yang mudah dibaca dan dimengerti oleh konsumen. Salah satu aspek agar kontrak atau perjanjian dapat dimengerti oleh konsumen adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Oleh karena itu,  kewajiban menggunakan bahasa Indonesia, tidak saja didasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tetapi juga Undang-Undang lain yang dimaksudkan untuk melindungi pihak debitur seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan telah pula mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

Salah satu ketentuan dalam Surat Edaran tersebut dalam poin III angka 1 mengenai format perjanjian baku bahwa

Perjanjian  Baku  yang  memuat  hak  dan  kewajiban  Konsumen  dan persyaratan  yang  mengikat  Konsumen  secara  hukum,  wajib menggunakan  huruf,  tulisan,  simbol,  diagram,  tanda,  istilah,  frasa  yang dapat dibaca, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen.

Apakah UU tentang Jabatan Notaris perlu mengatur tentang wajib menggunakan bahasa Indonesia?

Menurut pendapat Hakim Agung MA RI,  Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S,H.M.H,  UU lain yang terkait dengan pembuatan dokumen resmi seperti akta notaris, sudah seharusnya dinyatakan wajib menggunakan bahasa Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris sebagaimana diatur dalam  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perlu mengatur kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Dengan melihat praktek pembuatan kontrak yang disiapkan secara sepihak dan tidak memberikan waktu yang cukup bagi debitur untuk membaca kontrak maka sangatlah kecil potensi untuk memanfaatkan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk menghindari tanggungjawab pihak debitur.

Referensi Hukum:

Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Referensi materi:

Diskusi Hukum Tahun 2015 tentang Pembatalan Kontrak Bahasa Asing: Permasalahan dan Antisipasi. diselenggarakan oleh Hukum.online.com


Artikel ini sudah terbit di https://irmadevita.com/2017/dapatkah-notaris-memberikan-salinan-akta-selain-dalam-bahasa-indonesia

Anita rohmah sh mkn

artikel
Anita Rohmah,S.H.,M.Kn.,C.Me
Anita Rohmah,S.H.,M.Kn.,C.Me
Saya adalah seorang istri serta ibu dari anak- anak saya yang cantik dan tampan, saya menyukai dunia hukum,teknologi, & juga menyukai kegiatan sosial.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar